Pengertian Percobaan Menurut KUHP
Percobaan
melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan
Umum,
Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP
berdasarkan
terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman
adalah
sebagai berikut:
Pasal 53
(1)
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan
itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2)
Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan
dikurangi
sepertiga.
(3)
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur
hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4)
Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pengertian Percobaan menurut Ruu
KUHP Nasional
Pasal
17
(1)
Percobaan melakukan tindak pidana, dipidana jika pembuat telah mulai
melakukan
permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju,
tetapi
pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau
akibat
yang dilarang.
(2)
Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:
a.
Perbuatan melawan hukum;
b.
Secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada
terjadinya
tindak pidana; dan
c.
Secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang
dilakukan
itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak
pidana.
Pasal
18
(1)
Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak
menyelesaikan
perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara
sukarela,
maka pembuat tidak dipidana.
(2)
Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan
kehendaknya
sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat
perbuatannya,
maka pembuat tidak dipidana.
(3)
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah
menimbulkan
kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan
telah
merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat
dipertangungjawabkan
untuk tindak pidana tersebut.
Pasal
19
Percobaan
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda
Kategori
I tidak dipidana.
Pasal
20
Jika
tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan
ketidakmampuan
alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang
dituju,
maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak
pidana
dengan ancaman pidana telah lebih dari ½ (satu per dua)
maksimum
pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.
Unsur-unsur percobaan ps 23 KUHP
1. Niat
( vornemen )
2. Permulaan
pelaksanaan
3. Tidak
selesainnya pelaksanaan bukan kehendak sendiri
1.
Niat.
Menurut Hazewinkel-Suringa niat adalah suatu bentuk rencana untuk
mengadakan perbuatan dalam mencapai tujuan tertentu. Lain halnya dengan Mulyatno, menurutnya niat itu tidak dapat
disamakan dengan kesengajaan. Apabila niat itu dilakukan barulah dapat
dikatakan kesengajaan, namun apabila tidak dilakukan bukan dinamakan
kesengajaan . jadi dapat disimpulkan bahwa niat adalah kehendak untuk melakukan
sesuatu perbuatan.
2.
Adanya suatu permulaaan pelaksanaan.
Telah adanya
suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uit veoring, artinya maksud
pelaku telah diwujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang
dikehendaki
3.
Tidak selesainya pelaksaan bukan
kehendak sendiri
Jadi
dikatakan percobaan apabila suatu pelaksaan tindakan itu dilakukan tidak sampai
selesai. Apabila orang tersebut melakukan suatu perbuatan dan menghentikan
perbuatannya (belum selesai dilakukan) karena niat dalam dirinya sendiri,
mengundurkan diri secara sukarela, BUKAN dinamakan percobaan. Percobaan itu
terjadi ketika orang tersebut menghentikan perbuatannya (belum selesai terjadi)
karena faktor lain diluar kehendak si pelaku.
Contoh: Putusan pengadilan Arnhem
tanggal 31 Juli 1951. N. J 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau
percobaan penganiayaan berat dimana:
A ingin membunuh B. A memasuki
ruangan B dengan membawa pisau sambil menunduk. Orang sekitar menghentikan
perbuatan A. B yang melihat hal tersebut langsung keluar ruangan. A yang
berniat membunuh B menghentikan perbuatannya dengan alasan tidak tega melihat
perubahan raut wajah si B ketika melihat A.
Dari kasus tersebut, pengadilan
Arnhem memberikan putusan bahwasanya terjadi percobaan pembunuhan atau
percobaan penganiayaan berat. Walaupun ada niat dalam diri A untuk menghentikan
perbuatannya karena tidak tega, namun keadaan dari luar yang memaksakan dirinya
untuk menghentikan perbuatannya juga menjadi pertimbangan pengadilan (karena
banyak orang yang melihat dan si B lari dari ruangan).
Secara teori penghentian perbuatan
karena faktor dalam diri dibagi menjadi:
1. Karena
pengunduran diri secara sukarela:
Contoh: A
(seorang ayah) ingin membunuh B (anak dari si A) karena kesal, ketika ingin
melakukan pembunuhan tersebut, tiba-tiba A mengurungkan niatnya karena tidak
tega melihat si B yang sedang asik bermain boneka di kamarnya. Melihat hal
tersebut A mengurungkan niatnya secara sukarela karena melihat keasikan si B
sedang bermain dan mengingat B adalah darah dagingnya sendiri.
2. Karena
penyesalan
Contohnya A
meracuni B, namun karena B ini sangat baik dengan A, akhirnya A memberikan
penawar racun pada si B dan B tidak mati karena pemberian penawar racun yang
dilakukan sendiri oleh A. Apabila B dibawa ke rumah sakit dan tidak jadi mati
karena jasa dokter, maka A dapat dikatakan percobaan pembunuhan, namun dalam
kasus ini A sendirilah yang membawa penawar racun itu dan segera memberikannya
pada B, jadi ada tindakan dalam diri A agar B tidak mati.
Beberapa literatur ada yang membahas mengenai Ondeugdelijke poging. Ondeugdelijke Poging adalah suatu
perbuatan yang dikatakan permulaan pelaksanaan, oleh karena sesuatu
hal, perbuatan yang diniatkan tidak mungkin akan terlaksana sesuai
dengan harapannya. (Loqman, 1996: 35).
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan
tersebut, pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna
dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing
ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak
(absolut) dan tidak sempurna secara nisbi
(relatif).
Loebby
Logman (1996: 35) memberikan contoh secara terperinci sebagai berikut:
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat)
a. Ketidaksempurnaan sarana secara
mutlak Contoh : A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum.
Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum ke dalam minuman B. Namun B
tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan
arsenicum tetapi gula pasir.
b. Ketidaksempurnaan sarana secara
nisbi Contoh : Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun arsenicum ke
dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi sehingga A tetap hidup.
2. Ketidak sempurnaan sasaran (objek)
a. Ketidaksempurnaan sasaran secara
mutlak Contoh : A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke kamar
tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal dunia
sebagai ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur
B dalam keadaan gelap. Jadi A menikam mayat.
b. Ketidaksempurnaan sasaran secara
nisbi Contoh : A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya terancam oleh
A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi antipeluru di
dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B,
karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati.
Mengenai percobaan yang tidak mampu
karena objeknya, MvT mengemukakan :
Syarat-syarat umum percobaan menurut
Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang
tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu
tersebut diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan
itupun harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada
percobaan (Arief, 1984: 18).
Mengenai percobaan yang tidak mampu
karena alatnya, MvT membedakan antara :
a. Tidak mampu mutlak, yaitu bila
dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai; dalam hal ini
tidak mungkin ada delik percobaan.
b. Tidak mampu relatif, bila dengan
alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang
tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan
tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin
ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T di
atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif
dapat dilihat dari 2 segi:
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan.
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19).
dapat dilihat dari 2 segi:
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan.
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19).
Perbuatan yang mirip percobaan
1. Ondeudelijke
Poging atau percobaan tidak mampu.
Dikatakan tidak mampu atau tidak sempurna karena alat atau objek kejahatan
tersebut tidak sempurna atau tidak mampu menyebabkan tindak pidana yang dituju
tidak mungkin terwujud. Akan tetapi banyak ahli masih mendebatkan istilah
percobaan tidak mampu ini.
Contoh : X bermaksud membunuh Y
dengan cara menikam jantungnya, akan tetapi sebelum tikaman itu merobek jantung
si Y telah mati terlebih dahulu karena serangan jantung. Di sini dapat
disimpulkan bahwa Y adalah objek tidak sempurna.
Contoh 2 : R bermaksud meracuni S
dengan cara menaruh racun dalam kopinya, akan tetapi R keliru dan malah memasukkan
gula. Di sini alatnya lah yang tidak sempurna.
2. Mangel am Tatbestand
Mangel am
Tatbestand ini adalah
suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata
kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju.
Disini telah terjadi kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana.
Seseorang telah selesai melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak terjadi
kejahatan. Mangel am tatbestand ini berada di luar lapangan percobaan
yang dapat dipidana. Contoh : A mengambil barang yang dikira milik B, tapi
ternyata barang tersebut miliknya sendiri.
3. Putatief
Delict
Pada Putatief Delict terjadi kesesatan hukum pada seseorang
yang melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana. Putatief
Delict bukanlah suatu
tindak pidana dan juga bukan percobaan, melainkan suatu kesalahpahaman bagi
orang yang melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu
tindak pidana, padahal sebenarnya bukan. Contoh : orang asing yang melakukan
perbuatan yang menurut hukum negaranya adalah perbuatan asusila di Indonesia,
tetapi disini bukan merupakan tindak pidana.
4. percobaan
selesai, percobaan tertunda, dan percobaan yang dikualifisir
a) percobaan selesai (delict manque) adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk
melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti
tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu
tidak terjadi. Dikatakan percobaan karena tindak pidana itu tidak terjadi, dan
dikatakan selesai karena pelaksanaan sesungguhnya sama dengan pelaksanaan yang
dapat menimbulkan tindak pidana selesai. Contoh: orang yang mau menembak orang
lain, peluru telah ditembakkan tapi tembakannya meleset.
b) percobaan tertunda adalah percobaan yang perbuatan
pelaksanannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Contoh:
seorang pencopet telah memasukkan tangannya ke dalam tas seorang perempuan dan
telah memegang dompet sang perempuan, tiba – tiba perempuan itu sadar dan
memukul tangan pencopet itu, menyebabkan terlepaslah dompet yang telah
dipegangnya.
c) percobaan yang dikualifisir adalah percobaan yang
perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada
yang dituju. Contoh : seseorang bermaksud membunuh temannya dengan pisau, akan
tetapi setelah menikam si teman ternyata temannya tidak meninggal, hanya luka
berat.
Pengertian penyertaan
Pasal
55:
(1).
Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana;
ke-1.
orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan
perbuatan itu.
ke-2.
orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau
martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar
atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2).
Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh
dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya
serta akibat perbuatan itu.
Bentuk-bentuk penyertaan /
Unsur-unsur penyertaan
1. Mereka
yang melakukan ( pleger )
2. Mereka
yang menyuruh melakukan ( doen pleger )
3. Mereka
yang turut serta melakukan ( madepleger )
4. Orang
yang sengaja menganjurkan ( uitlokker )
1. mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah
orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik.
Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan tindak pidana masih
diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta,
pembuat pembantu, atau pembuat penganjur.
Dalam tindak pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana ybs.
Dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh uu.
Dalam tindak pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana ybs.
Dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh uu.
2. mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh:
doenpleger)
Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya (yang ada dalam kekuasaannya)
2. orang lain itu berbuat:
a. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
b. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
c. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) yang tidak diketahuinya
2) karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan miliknya)
3) karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga tewas)
Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya (yang ada dalam kekuasaannya)
2. orang lain itu berbuat:
a. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
b. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
c. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) yang tidak diketahuinya
2) karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan miliknya)
3) karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga tewas)
3. mereka
yang turut serta melakukan (pembuat peserta: medepleger), adalah setiap orang
yang sengaja berbuat dalam melakukan tindak pidana. Misalnya :
-A
dan B sama-sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik C orang
yang mereka benci;
-pada
waktu yang telah disepakati mereka berdua masuk kandang;
-di
dalam kandang kuda ada loteng dan di sana ada rumput kering untuk makanan kuda.
-untuk
membakar kandang kuda dilakukan dengan cara membakar rumput kering di atas
loteng tsb
-untuk
pembakaran itu A menaiki sebuah tangga untuk mencapai loteng.
-B memegang tangganya.
-pada mulanya a berusaha membakar
rumput dengan korek api, tetapi gagal karena rumput belum kering sepenuhnya.
-b kemudian mengumpulkan daun2
kering yang kemudian diserahkan kepada a dengan maksu supaya a dapat melakukan
pembakaran dengan daun tsb.
-aakhirnya berhasil membakar
kandang kuda milik c.
4.
Orang yang
sengaja menganjurkan pasal 55 ayat (1) angka 2 kuhp:
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.
Perbedaan pembantuan dan turut
serta
1.
orang yang turut serta melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan”
dalam arti kata “bersama-sama melakukan”.
Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan
(pleger) dan orang yang
turut melakukan (medepleger)
peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan
perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak
pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau
perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang
menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige)
dalam Pasal 56 KUHP.
2.
Pasal 56
KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja
memberikan bantuan tersebut, pada waktu
atau sebelum (jadi tidak
sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah
kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
Pengertian
pembantuan
Pasal 56 kuhp dipidana sebagai pembantu kejahatan
:1.mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatandilakukan.2.mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.menurut pasal 56,bentuk pembantuan atau
pembuat pembantu dibedakan antara:1.pemberi bantuan sebelum dilaksanakannya
kejahatan;dan2.pemberi bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan
Syarat-syarat
pembantuan
1. Dari sudut
subyektif
Kesengajaan pembuat
pembantu ini tidak ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan,
melainkan hanya sekedar ditujukan pada mempermudah pelaksanaan kejahatan saja.
Artinya juga ialah sikap bathin pembuat pembantu terhadap kejahatan tidak sama
dengan dengan sikap bathin dari pembuat pelaksananya.
2. Dari sudut obyektif
Bahwa wujud dari
perbuatan yang dilakuakan oleh pembuat pembantu hanyalah bersifat mempermudah
atau memperlancar pelaksanaan kejahatan. Pada kenyataannya menurut pengalaman
manusia pada umumnya, mengenai wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat
pembantu berperan atas mempunyai andil, atau memberi sumbangan dalam hal
mempermudah atau memperlancar penyelesaian kejahatan. Artinya, wujud dari
perbuatan pembuat pembantu itu, tidaklah dapat menyelesaikan kejahatan, yang
menyelesaikan kejahatan itu adalah wujud perbuatan apa yang dilakukan sendiri
oleh pembuat pelaksanaannya.
Berikut
adalah bentuk – bentuk pembantuan :
Menurut undang – undang (pasal 56) ada dua bentuk
pembantuan, yaitu :
1. Pembantuan
sebelum pelaksanaan kejahatan, dan
2. Pembantuan
pada saat pelaksanaan kejahatan.
Selain itu didalam doktrin ada juaga bentuk
pembantuan yaitu :
1.
Pembantuan
sebelum dan pada saat pelaksanaan kejahatan
Pembantuan sebelum pelaksanaan
kejahatan, oleh undang – undang telah diberikan pembatasan – pembatasan
mengenai cara melakukannya, yakni :
Dengan memberikan kesempatan;
Dengan memberikan sarana; dan
Dengan memberikan keterangan.
2.
Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan
Orang yang
memberikan bantuan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis
bantuannya. Berarti semua pembantuan
yang dilakukan pada saat pelaksanaan kejahatan dapat dipidana
3.
Pembantuan
Aktif dan Pembantuan Pasif
Pembantuan aktif adalah bentuk
pembantuan dengan melakukan perbuatan aktif. Pembantuan aktif bisa disebut
dengan pembantuan materiil.
Sedangkan pembantuan pasif adalah
bentuk pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan aktif, tetapi dengan tidak
melakukan perbuatan aktif, orang ini telah melanggar suatu kewajiban hukumnya.
Pembantuan materiil dan pembantuan
intelektual
Tanggung
Jawab Pidana bagi pembantuan
Pasal 57 memuat tentang sejauh mana luasnya tanggung
jawab bagi pembuat pembantu, yang rumusannya sebagai berikut :
1. Dalam
hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga;
2. Jika
kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun;
3. Pidana
tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri;
4. Dalam
menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang
sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibatnya.