Rabu, 18 Maret 2015

hukum pidana ( delik percobaan,penyertaan dan pembantuan )

Pengertian Percobaan Menurut KUHP
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan
Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP
berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman
adalah sebagai berikut:
 Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan
dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pengertian Percobaan menurut Ruu KUHP Nasional
Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindak pidana, dipidana jika pembuat telah mulai
melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju,
tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau
akibat yang dilarang.
(2) Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:
a. Perbuatan melawan hukum;
b. Secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada
terjadinya tindak pidana; dan
c. Secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang
dilakukan itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak
pidana.
Pasal 18
(1) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak
menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara
sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan
kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat
perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah
menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan
telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat
dipertangungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 19
Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda
Kategori I tidak dipidana.
Pasal 20
Jika tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan
ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang
dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak
pidana dengan ancaman pidana telah lebih dari ½ (satu per dua)
maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.

Unsur-unsur percobaan ps 23 KUHP
1.      Niat ( vornemen )
2.      Permulaan pelaksanaan
3.      Tidak selesainnya pelaksanaan bukan kehendak sendiri

1.      Niat.
Menurut Hazewinkel-Suringa niat adalah suatu bentuk rencana untuk mengadakan perbuatan dalam mencapai tujuan tertentu. Lain halnya dengan Mulyatno, menurutnya niat itu tidak dapat disamakan dengan kesengajaan. Apabila niat itu dilakukan barulah dapat dikatakan kesengajaan, namun apabila tidak dilakukan bukan dinamakan kesengajaan . jadi dapat disimpulkan bahwa niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu perbuatan.
2.      Adanya suatu permulaaan pelaksanaan.
Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uit veoring, artinya maksud pelaku telah diwujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki
3.      Tidak selesainya pelaksaan  bukan kehendak sendiri
Jadi dikatakan percobaan apabila suatu pelaksaan tindakan itu dilakukan tidak sampai selesai. Apabila orang tersebut melakukan suatu perbuatan dan menghentikan perbuatannya (belum selesai dilakukan) karena niat dalam dirinya sendiri, mengundurkan diri secara sukarela, BUKAN dinamakan percobaan. Percobaan itu terjadi ketika orang tersebut menghentikan perbuatannya (belum selesai terjadi) karena faktor lain diluar kehendak si pelaku.
Contoh: Putusan pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N. J 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat dimana:
A ingin membunuh B. A memasuki ruangan B dengan membawa pisau sambil menunduk. Orang sekitar menghentikan perbuatan A. B yang melihat hal tersebut langsung keluar ruangan. A yang berniat membunuh B menghentikan perbuatannya dengan alasan tidak tega melihat perubahan raut wajah si B ketika melihat A.
Dari kasus tersebut, pengadilan Arnhem memberikan putusan bahwasanya terjadi percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat. Walaupun ada niat dalam diri A untuk menghentikan perbuatannya karena tidak tega, namun keadaan dari luar yang memaksakan dirinya untuk menghentikan perbuatannya juga menjadi pertimbangan pengadilan (karena banyak orang yang melihat dan si B lari dari ruangan).
Secara teori penghentian perbuatan karena faktor dalam diri dibagi menjadi:
1.      Karena pengunduran diri secara sukarela:
Contoh: A (seorang ayah) ingin membunuh B (anak dari si A) karena kesal, ketika ingin melakukan pembunuhan tersebut, tiba-tiba A mengurungkan niatnya karena tidak tega melihat si B yang sedang asik bermain boneka di kamarnya. Melihat hal tersebut A mengurungkan niatnya secara sukarela karena melihat keasikan si B sedang bermain dan mengingat B adalah darah dagingnya sendiri.
2.      Karena penyesalan
Contohnya A meracuni B, namun karena B ini sangat baik dengan A, akhirnya A memberikan penawar racun pada si B dan B tidak mati karena pemberian penawar racun yang dilakukan sendiri oleh A. Apabila B dibawa ke rumah sakit dan tidak jadi mati karena jasa dokter, maka A dapat dikatakan percobaan pembunuhan, namun dalam kasus ini A sendirilah yang membawa penawar racun itu dan segera memberikannya pada B, jadi ada tindakan dalam diri A agar B tidak mati.
Beberapa literatur ada yang membahas mengenai Ondeugdelijke poging. Ondeugdelijke Poging adalah suatu perbuatan yang dikatakan permulaan pelaksanaan, oleh karena sesuatu hal, perbuatan yang diniatkan tidak mungkin akan terlaksana sesuai dengan harapannya. (Loqman, 1996: 35).
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak sempurna secara nisbi (relatif).
Loebby Logman (1996: 35) memberikan contoh secara terperinci sebagai berikut:
                                                                                                                                                      
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat) 
a.       Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum. Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir.
b.      Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi Contoh : Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun arsenicum ke dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi sehingga A tetap hidup.
2. Ketidak sempurnaan sasaran (objek) 
a.       Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam keadaan gelap. Jadi A menikam mayat.
b.      Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi Contoh : A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi antipeluru di dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B, karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan :
Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan (Arief, 1984: 18).
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara :
a.       Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan.
b.      Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif
dapat dilihat dari 2 segi:
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan.
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19).


Perbuatan yang mirip percobaan
1. Ondeudelijke Poging atau percobaan tidak mampu.

Dikatakan tidak mampu atau tidak sempurna karena alat atau objek kejahatan tersebut tidak sempurna atau tidak mampu menyebabkan tindak pidana yang dituju tidak mungkin terwujud. Akan tetapi banyak ahli masih mendebatkan istilah percobaan tidak mampu ini.
Contoh : X bermaksud membunuh Y dengan cara menikam jantungnya, akan tetapi sebelum tikaman itu merobek jantung si Y telah mati terlebih dahulu karena serangan jantung. Di sini dapat disimpulkan bahwa Y adalah objek tidak sempurna.
Contoh 2 : R bermaksud meracuni S dengan cara menaruh racun dalam kopinya, akan tetapi R keliru dan malah memasukkan gula. Di sini alatnya lah yang tidak sempurna.
2. Mangel am Tatbestand
Mangel am Tatbestand ini adalah suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Disini telah terjadi kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana. Seseorang telah selesai melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak terjadi kejahatan. Mangel am tatbestand ini berada di luar lapangan percobaan yang dapat dipidana. Contoh : A mengambil barang yang dikira milik B, tapi ternyata barang tersebut miliknya sendiri.
3. Putatief Delict
Pada Putatief Delict terjadi kesesatan hukum pada seseorang yang melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana. Putatief Delict bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan percobaan, melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu tindak pidana, padahal sebenarnya bukan. Contoh : orang asing yang melakukan perbuatan yang menurut hukum negaranya adalah perbuatan asusila di Indonesia, tetapi disini bukan merupakan tindak pidana.

4. percobaan selesai, percobaan tertunda, dan percobaan yang dikualifisir
a) percobaan selesai (delict manque) adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi. Dikatakan percobaan karena tindak pidana itu tidak terjadi, dan dikatakan selesai karena pelaksanaan sesungguhnya sama dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai. Contoh: orang yang mau menembak orang lain, peluru telah ditembakkan tapi tembakannya meleset.
b) percobaan tertunda adalah percobaan yang perbuatan pelaksanannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Contoh: seorang pencopet telah memasukkan tangannya ke dalam tas seorang perempuan dan telah memegang dompet sang perempuan, tiba – tiba perempuan itu sadar dan memukul tangan pencopet itu, menyebabkan terlepaslah dompet yang telah dipegangnya.
c) percobaan yang dikualifisir adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju. Contoh : seseorang bermaksud membunuh temannya dengan pisau, akan tetapi setelah menikam si teman ternyata temannya tidak meninggal, hanya luka berat.
Pengertian penyertaan
Pasal 55:
(1). Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana;
ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan itu.
ke-2. orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2). Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.


Bentuk-bentuk penyertaan / Unsur-unsur penyertaan
1.      Mereka yang melakukan ( pleger )
2.      Mereka yang menyuruh melakukan ( doen pleger )
3.      Mereka yang turut serta melakukan ( madepleger )
4.      Orang yang sengaja menganjurkan ( uitlokker )

1.      mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan tindak pidana masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau pembuat penganjur.
Dalam tindak pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana ybs.
Dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh uu.
2.      mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh: doenpleger)
Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya (yang ada dalam kekuasaannya)
2. orang lain itu berbuat:
a. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
b. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
c. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) yang tidak diketahuinya
2) karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan miliknya)
3) karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga tewas)
3.      mereka yang turut serta melakukan (pembuat peserta: medepleger), adalah setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan tindak pidana. Misalnya :
-A dan B sama-sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik C orang yang mereka benci;
-pada waktu yang telah disepakati mereka berdua masuk kandang;
-di dalam kandang kuda ada loteng dan di sana ada rumput kering untuk makanan kuda.
-untuk membakar kandang kuda dilakukan dengan cara membakar rumput kering di atas loteng tsb
-untuk pembakaran itu A menaiki sebuah tangga untuk mencapai loteng.
-B memegang tangganya.
-pada mulanya a berusaha membakar rumput dengan korek api, tetapi gagal karena rumput belum kering sepenuhnya.
-b kemudian mengumpulkan daun2 kering yang kemudian diserahkan kepada a dengan maksu supaya a dapat melakukan pembakaran dengan daun tsb.
-aakhirnya berhasil membakar kandang kuda milik c.
4.      Orang yang sengaja menganjurkan pasal 55 ayat (1) angka 2 kuhp:
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Perbedaan pembantuan dan turut serta
1.      orang yang turut serta melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.
2.      Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.

Pengertian pembantuan
Pasal 56 kuhp dipidana sebagai pembantu kejahatan :1.mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatandilakukan.2.mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.menurut pasal 56,bentuk pembantuan atau pembuat pembantu dibedakan antara:1.pemberi bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan;dan2.pemberi bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan

Syarat-syarat pembantuan
1.      Dari sudut subyektif
Kesengajaan pembuat pembantu ini tidak ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan, melainkan hanya sekedar ditujukan pada mempermudah pelaksanaan kejahatan saja. Artinya juga ialah sikap bathin pembuat pembantu terhadap kejahatan tidak sama dengan dengan sikap bathin dari pembuat pelaksananya.
2.      Dari sudut obyektif
Bahwa wujud dari perbuatan yang dilakuakan oleh pembuat pembantu hanyalah bersifat mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan. Pada kenyataannya menurut pengalaman manusia pada umumnya, mengenai wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu berperan atas mempunyai andil, atau memberi sumbangan dalam hal mempermudah atau memperlancar penyelesaian kejahatan. Artinya, wujud dari perbuatan pembuat pembantu itu, tidaklah dapat menyelesaikan kejahatan, yang menyelesaikan kejahatan itu adalah wujud perbuatan apa yang dilakukan sendiri oleh pembuat pelaksanaannya.


Berikut adalah bentuk – bentuk pembantuan :
Menurut undang – undang (pasal 56) ada dua bentuk pembantuan, yaitu :
1.      Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, dan
2.      Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan.
Selain itu didalam doktrin ada juaga bentuk pembantuan yaitu :
1.      Pembantuan sebelum dan pada saat pelaksanaan kejahatan
Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, oleh undang – undang telah diberikan pembatasan – pembatasan mengenai cara melakukannya, yakni :
Dengan memberikan kesempatan;
Dengan memberikan sarana; dan
Dengan memberikan keterangan.
2.      Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan
Orang yang memberikan bantuan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis bantuannya.  Berarti semua pembantuan yang dilakukan pada saat pelaksanaan kejahatan dapat dipidana
3.      Pembantuan Aktif dan Pembantuan Pasif
Pembantuan aktif adalah bentuk pembantuan dengan melakukan perbuatan aktif. Pembantuan aktif bisa disebut dengan pembantuan materiil.
Sedangkan pembantuan pasif adalah bentuk pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan aktif, tetapi dengan tidak melakukan perbuatan aktif, orang ini telah melanggar suatu kewajiban hukumnya.
Pembantuan materiil dan pembantuan intelektual

Tanggung Jawab Pidana bagi pembantuan
Pasal 57 memuat tentang sejauh mana luasnya tanggung jawab bagi pembuat pembantu, yang rumusannya sebagai berikut :
1.      Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga;
2.      Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun;
3.      Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri;

4.      Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibatnya.

pengantar hukum pidana lanjutan

PERBARENGAN
(SAMENLOOP VAN STRAFBAREFEITEN)

  1. Satu Tindak Pidana, Pelaku lbh dr 1 org, Penyertaan ,(Deelneming) ,Pertanggungjawaban
  2. Beberapa Tindak Pidana, Pelaku hanya 1 org, Perbarengan, (Samenloop), Pertanggungjawaban pidana
Delneming ( penyertaan )

  1. Beberapa orang pelaku (lebih dari 1 orang)
  2. Tindak Pidana
Samenloop ( perbarengan )

  1.  orang pelaku
  2. Beberapa Tindak pidana
  3. Terhadap salah satu tindak pidana tersebut belum ada putusan Pengadilan
Recidive ( umum )

  1. orang pelaku
  2. Beberapa tindak pidana
  3. Dan diselingi oleh suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap mengulangi melakukan tindak pidana

PERBARENGAN
(SAMENLOOP VAN STRAFBAREFEITEN)
Pengertian perbarengan
Apabila seseorang  melakukan sesuatu Tindak Pidana dan dengan melakukan satu tindak pidana melanggar beberapa peraturan atau apabila seseorang melakukan beberapa tindak pidana dimana masing-masing tindak pidana  tersebut merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri-sendiri, dan terhadap salah satu dari perbuatan pidana tersebut belum ada putusan hakim, dan terhadap beberapa tindak pidana tersebut diadili sekaligus
Tujuan Pengaturan Samenloop
Untuk menentukan ukuran pidana (hukuman), artinya pidana apa dan berapakah jumlahnya yang akan dijatuhkan karena ’pelaku’  melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing berdiri sendiri

SIMONS, ZEVENBERGEN, VOS, HAZEWINKKEL – SURINGA
Menempatkan Samenloop ke dalam pembahasan mengenai ukuran untuk menetapkan berat ringannya pidana (Straaftoemeting)

Pengaturan Perbarengan
Buku I Bab VI
Pasal 63 – 71 KUHP

Bentuk Gabungan Tindak Pidana
  1. Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse Samenloop 
  2. Perbuatan berlanjut / Voorgezette Handeling    
  3. Gabungan beberapa perbuatan / concursus realis / Meerdaadse Samenloop

Gabungan satu perbuatan / concursus idealis / Eendaadse Samenloop 
Yaitu gabungan suatu perbuatan, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dan dengan melakukan perbuatan itu ia melakukan pelanggaran atas beberapa peraturan per-uu an hk pidana. 
Concursus idealis ini  diatur dalam pasal 63 ayat (1) KUHP
Concursus Idealis
Pasal 63 KUHP
(1) Kalau sesuatu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanyalah satu saja dari ketentuan-ketentuan itu yang dipakai; jika pidana berlainan, maka yang dipakai ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;
(2) Kalau   bagi sesuatu perbuatan yang dapat dipidana karena ketentuan pidana umum, ada ketentuan pidana khusus, maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan.

Concursus Realis
Pasal 65 KUHP
(1) Jika ada gabungan beberapa perbuatan, yang masing-masingnya harus dipandang  sebagai satu perbuatan bulat dan yang masing-masingnya merupakan kejahatan yang terancam dengan pidana pokoknya yang sama, maka satu pidana saja yang dijatuhkan;
(2) Maksimum pidana itu ialah jumlah maksimum yang diancamkan atas tiap-tiap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari yang terberat ditambah sepertiganya.

Vorgezete Handeling
Pasal 64 KUHP

  1. Kalau antara beberapa perbuatan ada perhubungannya, meskipun perbuatan itu masing-masing telah merupakan kejahatan atau pelanggaran, sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berturut-turut, maka hanyalah satu ketentuan pidana saja yang digunakan ialah ketentuan yang terberat pidana pokoknya;
  2. Begitu juga hanyalah satu ketentuan pidana yang dijalankan, apabila orang disalahkan memalsukan atau merusak uang dan memakai benda, yang terhadapnya dilakukan perbuatan memalsukan atau merusak uang itu;
  3. Akan tetapi jikalau kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373,  379 dan pasal 407 ayat pertama dilakukan dengan berturut-turut, serta jumlah kerugian atas kepunyaan orang karena perbuatan itu lebih dari Rp. 25,- maka dijalankan ketentuan pidana pasal 362, 372, 378, atau 406.

Teori Gabungan Melakukan Tindak Pidana 
Pokok persoalan dalam gabungan melakukan tindak pidana adalah mengenai bagaimana sistem penjatuhan pidana bagi seseorang yang telah melakukan delik gabungan. KUHP mengenal  4 (empat) teori yang dipergunakan untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana gabungan

Stelsel Penjatuhan Pidana
Asas Absorbsi :
Satu pidana yang dijatuhkan adalah pidana yang terberat
Asas Komulasi :
Pidana yang dijatuhkan adalah dikomulasikan
Asas Absorbsi yang dipertajam (Verscherpte absorptie) :
Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun dasar yang digunakan adalah Pasal 65.
Asas Kumulasi sedang (Gematigde cumulatie stelsel) :
a.       Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya, namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya.
b.      Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah Pasal 66 KUHP.


Sistem Penjatuhan Pidana dalam Perbarengan

  1. Absorbsi Stelsel Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di antara beberapa pidana yang diancamkan. Dalam stelsel ini seakan-akan pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku untuk melakukan tindak pidana yang lebih ringan sehubungan dengan adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem absorbsi ini ialah Pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana tunggal dan perbuatan berlanjut.
  2. Absorbsi Yang Dipertajam Dalam sistem ini ancaman pidananya adalah pidana yang terberat, namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum pidana terberat yang disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana berganda dimana ancaman pidana pokoknya ialah sejenis. Dasar yang dipergunakan adalah Pasal 65.
  3. Cumulatie Stelsel Semua ancaman pidana dari gabungan tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah Pasal 70 KUHP.
  4.  Cumulatie Yang Diperlunak Tiap-tiap ancaman pidana dari masing-masing tindak pidana yang telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya, namun tidak boleh melebihi maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya tidak sejenis. Dasar hukum sistem ini adalah Pasal 66 KUHP.

Delik aduan
·         R.SOESILO
Tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan ( permintaan ) dan dari orang yang terkena tindak pidana
·         P.A.F.LAMINTANG
Tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan

Pengaduan pasal 1 angka 25 KUHP
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya

Unsur pengaduan yang esensial
·         Pernyataan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh seseorang,
·         Disertai permintaan untuk diadakan pemeriksaan ( penyidikan ) untuk dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan

Laporan pasal 1 angka 24 KUHP
Laporang adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang, atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana

Subjek yang berhak menyampaikan laporan
BAB XIV pasal 108 UU no 8 tahun 1981 :
·         Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, atau menjadi korban tindak pidana, berhak untuk mengajukan laporang atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik
·         Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa, atau terhadap hak milik, wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik
·         Pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugas yang mengetahui terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana, wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik

2 kelompok pelapor menurut KUHP
·         Orang yang diberi hak oleh UU untuk melapor:
Orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, atau orang yang menjadi korban tindak pidana yang terjadi, berhak menyampaikan laporan. ( sifat boleh dipergunakan, tidak dipaksakan
·         Pelapor/kelompok pelapor atas dasar kewajiban hukum
Suatu kewajiban yang dilakukan oleh orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhdapa ketentraman dan keamanan umum, atau jiwa, atau terhadap hak milik atau pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugas yang mengetahui terjadi peristiwa yang merupakan tindak pidana

Perbedaan laporan dengan pengaduan
Pengaduan :
·         Disamping berupa informasi tentang diperbuatnnya tindak pidana, juga harus disertai permintaan yang tegas kepada pejabat penerima pengaduan agar tindak pidana itu diusut dan kemudian dilakukan penuntutan
·         Hanya dapat dilakukan oelh orang yang berhak saja ( korban, kuasanya, walinya dan lain-lain )
·         Hanya dapat dilakukan pada tindak pidana aduan saja
·         Pengaduan merupakan syarat esensial untuk dapatnnya negara melakukan penuntutan pidana
Pelaporan :
·         Pada pelaporan cukup menyampaikan sekedar berisi keterangan atau informasi tentang adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
·         Pelaporan boleh dilakukan oleh siapa saja, baik korban ataupun bukan, baik orang dewasa maupun anak yang belum cukup umur (belum dewasa )
·         Pelaporan dapat diajukan mengenai semua tindak pidana ( kejahatan maupun pelanggaran )
·         Pelaporan  tidak merupakan syarat untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana terhadap si pelakunya/pembuatnnya

Penuntutan pasal 1 angka 7 KUHP
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan

Tindak pidana dalam buku II KUHP sebagai delik aduan
·         Pasal 284 : perzinahan
·         Pasal 287 : bersetubuh dengan perempuan dibawah umur
·         Pasal 293 : menggerakkan orang untuk berbuat cabul
·         Pasal 319 ( jo 310-318 KUHP ) penghinaan kecuali pasal 316
·         Pasal 320 : pencemaran terhadap orang yang meninggal
·         Pasal 321 : penyiaran yg berbentuk hinaan
·         Pasal 322 : membuka rahasia
·         Dan sbg

Delik aduan absolut
·         Delik yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal : 284, 287,293, 310 dan berikutnya 332,322 dan 369
·         Pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi saya minta agar peristiwa ini dituntut
·         Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut ( melakukan, membujuk, membantu ) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat displit.

Delik aduan relatif
·         Delik yang biasannya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam pasal 367 lalu menjadi delik aduan
·         Delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367,370,376,394,404, dan 411
·         Pengaduan ini diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya tetapi untuk menuntut orang-orangnnya yang bersalah dalam peristiwa itu jadi delik aduan ini dapat displit

Sifat delik aduan absolut dan relatif
·         Delik aduan absolut
Tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadukan penuntutan oleh penuntut umum apabila telah diterima aduan dari yang berhak mengadukannnya.
·         Delik aduan relatif
Kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang sebenarnnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal tertentu justru diperlukan sebagai delik aduan

Perbedaan delik aduan absolut dan relatif
Absolut:
·         Delik aduan absolut bila dituntut, maka semua pelaku dari kejahatan tersebut harus dituntut
·         Pada delik aduan absolut cukup apabila pengadu hanya menyebut peristiwanya saja
·         Pengaduan dalam delik aduan absolut tidak dapat dipecahkan
Relatif :
·         Delik aduan relatif penuntutan dapat dipisah-pisah
·         Delik aduan relatif pengaduan harus menyebutkan orang yang ia duga telah merugikan dirinya
·         Pengaduan dalam delik aduan relatif dapat dipecahkan

Pengajuan aduan pasal 72 KUHP
·         Wakilnnya yang sah dalam perkara sipil, atau wali, atau pengaduan orang tertentu ( khusus untuk orang yang belum dewasa ). Misalnnya orang tua korban, pengacara, pengampu, dan wali
·         Orang yang langsung dikenai kejahatan itu ( koerban )

Tenggang waktu pengajuan aduan      
Pasal 74 ayat 1 KUHP : hak untuk mengajukan aduan paling lama dalam jangka waktu 6 bulan setelah kejaidan itu diketahui, kalau dia berdiam di luar negeri paling lama tenggang waktunnya 9 bulan

Hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidanan
Hapusnya kewenangan menuntut menurut KUHP :
·         Tidak adanya pengaduan pada delik-delik aduan ( pasal 72-75 KUHP )
Kewenangan melakukan penuntutan pada prinsipnnya tidak berhubungan dengan kehendak perorangan kecuali dengan beberapa delik tertentu diantaranya perizinan ( pasal 284 ), persetubuhan terhadap anak dibawah umur ( pasal 287-288 ), untuk melarikan wanita ( pasal 332 ), pencemaran nama baik ( pasal 319 ) dan sbg.
·         Ne bis in idem ( pasal 76 KUHP )
Arti adalah tidak atau jangan dua kali yang sama, sering juga digunakan istilah nemodebet bis vexari ( tidak seorangpun atas perbuatannya dapat diganggu/dibahayakan untuk kedua kalinnya ) yang dalam literature angka saxon diterjemahkan menjadi no one could be put twice in joepardy for the same offerice
Dasar pemikiran asas ini ialah : untuk menjaga martabat pengadilan, dan untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat putusan
Penuntutan terhadap dapat hapus berdasarkan neb is in idem apabila dipenuhi syarat-syarat :
a.       ada putusan yang berkekuatan hukum tetap,
b.      terhadap setiap orang putusan itu dijatuhkan adalah sama,
c.       perbuatan yang dituntut 2 kali adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu itu
·         Matinya terdakwa ( pasal 77 KUHP )
Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subjek hukum hanyalah orang dan pertanggung jawaban bersifat pribadi
·         Daluarsa ( pasal 78 KUHP )
Tenggang waktu daluarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1) yaitu :
a.       Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun
b.      Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3 tahun : daluarsanya sesudah 6 tahun
c.       Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun : daluarsanya 12 tahun
d.      Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluarsanya sesudah 18 tahun
·         Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja ( pasal 82 KUHP )
Ketentuan pembayaran denda maksimum untuk pelanggaran hukum ( pasal 82 ) ini dikenal juga sebagai lembaga hukum afkoop ( penebusan ) atau juga sering disebut sechikking ( perdamaian )
·         Ada abolisi atau amnesti diluar KUHP
a.       Amnesti adalah pernyataan umum ( yang diterbitkan dalam suatu peraturan perundang-undangan ) yang memuat pencabutan semua akibat pemidanaan dari suatu delik tertentu atau suatu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnya diketahui maupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut.
b.      Abolisi adalah  penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan seluruh akibat penghukuman, seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu sendiri

Alasan gugurnya kewenangan menjalankan pidana
Yang terdapat dalam KUHP :
  • ·         Matinya terpidana pasal 83
  • ·         Daluarsa pasal 84 dan 85

Yang terdapat diluar KUHP :
  • ·         Pemberian amnesti
  • ·         Pemberian grasi


Grasi adalah pengurangan pelaksanaan putusan hakim atau mengurangi hukuman yang dijatuhkan oleh hakim tanpa menghapus putusan tersebut, grasi dari presiden berupa :
  • ·         Tidak mengeksekusi seluruhnya
  • ·         Hanya mengeksekusi sebagian saja
  • ·         Mengadakan komutasi yaitu jenis pidanannya diganti, misalnya pidana diganti kurungan, kurungan diganti dengan dendan, pidana mati diganti dengan pidana seumur hidup.