Rabu, 18 Maret 2015

hukum pidana ( delik percobaan,penyertaan dan pembantuan )

Pengertian Percobaan Menurut KUHP
Percobaan melakukan kejahatan diatur dalam Buku ke satu tentang Aturan
Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP
berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum Nasional Departemen Kehakiman
adalah sebagai berikut:
 Pasal 53
(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam percobaan
dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pengertian Percobaan menurut Ruu KUHP Nasional
Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindak pidana, dipidana jika pembuat telah mulai
melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju,
tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau
akibat yang dilarang.
(2) Dikatakan ada permulaan pelaksanaan, jika pembuat telah melakukan:
a. Perbuatan melawan hukum;
b. Secara objektif perbuatan itu langsung mendekatkan pada
terjadinya tindak pidana; dan
c. Secara subjektif tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang
dilakukan itu diniatkan atau ditujukan pada terjadinya tindak
pidana.
Pasal 18
(1) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak
menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara
sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Jika setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan
kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat
perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah
menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan
telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat
dipertangungjawabkan untuk tindak pidana tersebut.
Pasal 19
Percobaan melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana denda
Kategori I tidak dipidana.
Pasal 20
Jika tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan
ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang
dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak
pidana dengan ancaman pidana telah lebih dari ½ (satu per dua)
maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.

Unsur-unsur percobaan ps 23 KUHP
1.      Niat ( vornemen )
2.      Permulaan pelaksanaan
3.      Tidak selesainnya pelaksanaan bukan kehendak sendiri

1.      Niat.
Menurut Hazewinkel-Suringa niat adalah suatu bentuk rencana untuk mengadakan perbuatan dalam mencapai tujuan tertentu. Lain halnya dengan Mulyatno, menurutnya niat itu tidak dapat disamakan dengan kesengajaan. Apabila niat itu dilakukan barulah dapat dikatakan kesengajaan, namun apabila tidak dilakukan bukan dinamakan kesengajaan . jadi dapat disimpulkan bahwa niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu perbuatan.
2.      Adanya suatu permulaaan pelaksanaan.
Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uit veoring, artinya maksud pelaku telah diwujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang dikehendaki
3.      Tidak selesainya pelaksaan  bukan kehendak sendiri
Jadi dikatakan percobaan apabila suatu pelaksaan tindakan itu dilakukan tidak sampai selesai. Apabila orang tersebut melakukan suatu perbuatan dan menghentikan perbuatannya (belum selesai dilakukan) karena niat dalam dirinya sendiri, mengundurkan diri secara sukarela, BUKAN dinamakan percobaan. Percobaan itu terjadi ketika orang tersebut menghentikan perbuatannya (belum selesai terjadi) karena faktor lain diluar kehendak si pelaku.
Contoh: Putusan pengadilan Arnhem tanggal 31 Juli 1951. N. J 1952 No. 670 tentang percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat dimana:
A ingin membunuh B. A memasuki ruangan B dengan membawa pisau sambil menunduk. Orang sekitar menghentikan perbuatan A. B yang melihat hal tersebut langsung keluar ruangan. A yang berniat membunuh B menghentikan perbuatannya dengan alasan tidak tega melihat perubahan raut wajah si B ketika melihat A.
Dari kasus tersebut, pengadilan Arnhem memberikan putusan bahwasanya terjadi percobaan pembunuhan atau percobaan penganiayaan berat. Walaupun ada niat dalam diri A untuk menghentikan perbuatannya karena tidak tega, namun keadaan dari luar yang memaksakan dirinya untuk menghentikan perbuatannya juga menjadi pertimbangan pengadilan (karena banyak orang yang melihat dan si B lari dari ruangan).
Secara teori penghentian perbuatan karena faktor dalam diri dibagi menjadi:
1.      Karena pengunduran diri secara sukarela:
Contoh: A (seorang ayah) ingin membunuh B (anak dari si A) karena kesal, ketika ingin melakukan pembunuhan tersebut, tiba-tiba A mengurungkan niatnya karena tidak tega melihat si B yang sedang asik bermain boneka di kamarnya. Melihat hal tersebut A mengurungkan niatnya secara sukarela karena melihat keasikan si B sedang bermain dan mengingat B adalah darah dagingnya sendiri.
2.      Karena penyesalan
Contohnya A meracuni B, namun karena B ini sangat baik dengan A, akhirnya A memberikan penawar racun pada si B dan B tidak mati karena pemberian penawar racun yang dilakukan sendiri oleh A. Apabila B dibawa ke rumah sakit dan tidak jadi mati karena jasa dokter, maka A dapat dikatakan percobaan pembunuhan, namun dalam kasus ini A sendirilah yang membawa penawar racun itu dan segera memberikannya pada B, jadi ada tindakan dalam diri A agar B tidak mati.
Beberapa literatur ada yang membahas mengenai Ondeugdelijke poging. Ondeugdelijke Poging adalah suatu perbuatan yang dikatakan permulaan pelaksanaan, oleh karena sesuatu hal, perbuatan yang diniatkan tidak mungkin akan terlaksana sesuai dengan harapannya. (Loqman, 1996: 35).
Ada 2 hal yang mengakibatkan tidak sempurnanya percobaan tersebut, pertama karena alat (sarana) yang dipergunakan tidak sempurna dan yang kedua objek (sasaran) tidak sempurna. Masing-masing ketidaksempurnaan itu ada 2 macam, yaitu tidak sempurna secara mutlak (absolut) dan tidak sempurna secara nisbi (relatif).
Loebby Logman (1996: 35) memberikan contoh secara terperinci sebagai berikut:
                                                                                                                                                      
1. Ketidaksempurnaan sarana (alat) 
a.       Ketidaksempurnaan sarana secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B dengan menggunakan racun arsenicum. Pada saat B lengah A memasukkan arsenicum ke dalam minuman B. Namun B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan arsenicum tetapi gula pasir.
b.      Ketidaksempurnaan sarana secara nisbi Contoh : Peristiwanya seperti di atas, tetapi A memberikan racun arsenicum ke dalam minuman B dalam dosis yang tidak mencukupi sehingga A tetap hidup.
2. Ketidak sempurnaan sasaran (objek) 
a.       Ketidaksempurnaan sasaran secara mutlak Contoh : A ingin membunuh B. Pada suatu malam A masuk ke kamar tidur B dan menikam B. Ternyata bahwa B telah meninggal dunia sebagai ditikam A. Dalam hal ini A tidak mengetahui karena kamar tidur B dalam keadaan gelap. Jadi A menikam mayat.
b.      Ketidaksempurnaan sasaran secara nisbi Contoh : A ingin membunuh B. B mengetahui bahwa dirinya terancam oleh A, sehingga B selalu keluar rumah dengan menggunakan rompi antipeluru di dalam bajunya. Ketika terjadi penembakan oleh A, meskipun mengenai dada B, karena menggunakan rompi anti peluru B tidak mati.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena objeknya, MvT mengemukakan :
Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu di dalam Buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka juga tidak ada percobaan (Arief, 1984: 18).
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, MvT membedakan antara :
a.       Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai; dalam hal ini tidak mungkin ada delik percobaan.
b.      Tidak mampu relatif, bila dengan alat itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T di atas terlihat bahwa ketidakmampuan relatif
dapat dilihat dari 2 segi:
a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan perbuatan.
b. Keadaan tertentu dari orang yang dituju (Arief, 1984: 19).


Perbuatan yang mirip percobaan
1. Ondeudelijke Poging atau percobaan tidak mampu.

Dikatakan tidak mampu atau tidak sempurna karena alat atau objek kejahatan tersebut tidak sempurna atau tidak mampu menyebabkan tindak pidana yang dituju tidak mungkin terwujud. Akan tetapi banyak ahli masih mendebatkan istilah percobaan tidak mampu ini.
Contoh : X bermaksud membunuh Y dengan cara menikam jantungnya, akan tetapi sebelum tikaman itu merobek jantung si Y telah mati terlebih dahulu karena serangan jantung. Di sini dapat disimpulkan bahwa Y adalah objek tidak sempurna.
Contoh 2 : R bermaksud meracuni S dengan cara menaruh racun dalam kopinya, akan tetapi R keliru dan malah memasukkan gula. Di sini alatnya lah yang tidak sempurna.
2. Mangel am Tatbestand
Mangel am Tatbestand ini adalah suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Disini telah terjadi kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana. Seseorang telah selesai melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak terjadi kejahatan. Mangel am tatbestand ini berada di luar lapangan percobaan yang dapat dipidana. Contoh : A mengambil barang yang dikira milik B, tapi ternyata barang tersebut miliknya sendiri.
3. Putatief Delict
Pada Putatief Delict terjadi kesesatan hukum pada seseorang yang melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana. Putatief Delict bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan percobaan, melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu tindak pidana, padahal sebenarnya bukan. Contoh : orang asing yang melakukan perbuatan yang menurut hukum negaranya adalah perbuatan asusila di Indonesia, tetapi disini bukan merupakan tindak pidana.

4. percobaan selesai, percobaan tertunda, dan percobaan yang dikualifisir
a) percobaan selesai (delict manque) adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi. Dikatakan percobaan karena tindak pidana itu tidak terjadi, dan dikatakan selesai karena pelaksanaan sesungguhnya sama dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai. Contoh: orang yang mau menembak orang lain, peluru telah ditembakkan tapi tembakannya meleset.
b) percobaan tertunda adalah percobaan yang perbuatan pelaksanannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Contoh: seorang pencopet telah memasukkan tangannya ke dalam tas seorang perempuan dan telah memegang dompet sang perempuan, tiba – tiba perempuan itu sadar dan memukul tangan pencopet itu, menyebabkan terlepaslah dompet yang telah dipegangnya.
c) percobaan yang dikualifisir adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju. Contoh : seseorang bermaksud membunuh temannya dengan pisau, akan tetapi setelah menikam si teman ternyata temannya tidak meninggal, hanya luka berat.
Pengertian penyertaan
Pasal 55:
(1). Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana;
ke-1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan itu.
ke-2. orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2). Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.


Bentuk-bentuk penyertaan / Unsur-unsur penyertaan
1.      Mereka yang melakukan ( pleger )
2.      Mereka yang menyuruh melakukan ( doen pleger )
3.      Mereka yang turut serta melakukan ( madepleger )
4.      Orang yang sengaja menganjurkan ( uitlokker )

1.      mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan tindak pidana masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau pembuat penganjur.
Dalam tindak pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana ybs.
Dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh uu.
2.      mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh: doenpleger)
Unsur-unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu:
1. melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat di dalam tangannya (yang ada dalam kekuasaannya)
2. orang lain itu berbuat:
a. tanpa kesengajaan (contoh mengedarkan uang palsu)
b. tanpa kealpaan (contoh menyiramkan air panas kepada pemulung)
c. tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan:
1) yang tidak diketahuinya
2) karena disesatkan (kekeliruan/kesalahpahaman) (contoh mencuri koper yang bukan miliknya)
3) karena tunduk pada kekerasan (tuan rumah dilempar dan menimpa anak kecil hingga tewas)
3.      mereka yang turut serta melakukan (pembuat peserta: medepleger), adalah setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan tindak pidana. Misalnya :
-A dan B sama-sama bersepakat untuk membakar sebuah kandang kuda milik C orang yang mereka benci;
-pada waktu yang telah disepakati mereka berdua masuk kandang;
-di dalam kandang kuda ada loteng dan di sana ada rumput kering untuk makanan kuda.
-untuk membakar kandang kuda dilakukan dengan cara membakar rumput kering di atas loteng tsb
-untuk pembakaran itu A menaiki sebuah tangga untuk mencapai loteng.
-B memegang tangganya.
-pada mulanya a berusaha membakar rumput dengan korek api, tetapi gagal karena rumput belum kering sepenuhnya.
-b kemudian mengumpulkan daun2 kering yang kemudian diserahkan kepada a dengan maksu supaya a dapat melakukan pembakaran dengan daun tsb.
-aakhirnya berhasil membakar kandang kuda milik c.
4.      Orang yang sengaja menganjurkan pasal 55 ayat (1) angka 2 kuhp:
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Perbedaan pembantuan dan turut serta
1.      orang yang turut serta melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.
2.      Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.

Pengertian pembantuan
Pasal 56 kuhp dipidana sebagai pembantu kejahatan :1.mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatandilakukan.2.mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.menurut pasal 56,bentuk pembantuan atau pembuat pembantu dibedakan antara:1.pemberi bantuan sebelum dilaksanakannya kejahatan;dan2.pemberi bantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan

Syarat-syarat pembantuan
1.      Dari sudut subyektif
Kesengajaan pembuat pembantu ini tidak ditujukan pada pelaksanaan atau penyelesaian kejahatan, melainkan hanya sekedar ditujukan pada mempermudah pelaksanaan kejahatan saja. Artinya juga ialah sikap bathin pembuat pembantu terhadap kejahatan tidak sama dengan dengan sikap bathin dari pembuat pelaksananya.
2.      Dari sudut obyektif
Bahwa wujud dari perbuatan yang dilakuakan oleh pembuat pembantu hanyalah bersifat mempermudah atau memperlancar pelaksanaan kejahatan. Pada kenyataannya menurut pengalaman manusia pada umumnya, mengenai wujud perbuatan apa yang dilakukan oleh pembuat pembantu berperan atas mempunyai andil, atau memberi sumbangan dalam hal mempermudah atau memperlancar penyelesaian kejahatan. Artinya, wujud dari perbuatan pembuat pembantu itu, tidaklah dapat menyelesaikan kejahatan, yang menyelesaikan kejahatan itu adalah wujud perbuatan apa yang dilakukan sendiri oleh pembuat pelaksanaannya.


Berikut adalah bentuk – bentuk pembantuan :
Menurut undang – undang (pasal 56) ada dua bentuk pembantuan, yaitu :
1.      Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, dan
2.      Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan.
Selain itu didalam doktrin ada juaga bentuk pembantuan yaitu :
1.      Pembantuan sebelum dan pada saat pelaksanaan kejahatan
Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, oleh undang – undang telah diberikan pembatasan – pembatasan mengenai cara melakukannya, yakni :
Dengan memberikan kesempatan;
Dengan memberikan sarana; dan
Dengan memberikan keterangan.
2.      Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan
Orang yang memberikan bantuan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis bantuannya.  Berarti semua pembantuan yang dilakukan pada saat pelaksanaan kejahatan dapat dipidana
3.      Pembantuan Aktif dan Pembantuan Pasif
Pembantuan aktif adalah bentuk pembantuan dengan melakukan perbuatan aktif. Pembantuan aktif bisa disebut dengan pembantuan materiil.
Sedangkan pembantuan pasif adalah bentuk pembantuan dengan tidak melakukan perbuatan aktif, tetapi dengan tidak melakukan perbuatan aktif, orang ini telah melanggar suatu kewajiban hukumnya.
Pembantuan materiil dan pembantuan intelektual

Tanggung Jawab Pidana bagi pembantuan
Pasal 57 memuat tentang sejauh mana luasnya tanggung jawab bagi pembuat pembantu, yang rumusannya sebagai berikut :
1.      Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga;
2.      Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun;
3.      Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri;

4.      Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar